Kalau berbicara tentang patriot dalam kehidupanku, dengan tegas aku akan menjawabnya : Bapakku, Wisnu Sri Widodo. Betapa tidak, kalau meminjam istilah Mak Prit, sang patriot adalah sosok yang mampu menyembuhkan luka, sosok yang pasti membuat kita selalu terbangun lagi tidak perduli seberapa banyaknya kita jatuh. Mereka adalah sosok-sosok yang membuat kita selalu belajar, bertahan dan memperjuangkan hidup dengan jujur serta ikhlas. Mereka adalah pelangi yang datang seusai badai.
Bagiku : sang patriot adalah sosok dimana aku berpaling dalam kondisi apapun, sosok yang akan memberikan segalanya bagiku, bahkan nyawanya sekalipun. Sosok yang akan berdiri di depanku, menjadi pelindungku. Sosok tempat aku berguru dan belajar tentang arti hidup dan cinta.
Tentu saja bapak memiliki kriteria di atas. Betapa tidak. Beliaulah tempat aku berpaling, tangannya selalu tersedia untukku di segala situasi. Menolong, membantu, memeluk dan menguatkan. Menerimaku apa adanya sekalipun aku salah. Tempat menumpahkan segala beban, dan Bapak siap sedia menyediakan diri untuk bersama-sama menanggungnya. Beliau yang selalu menyemangatiku, membuatku bangkit kala asa sudah tidak ada. Tempat aku belajar arti hidup dan cinta, memberi diri dan mengasihi orang lain.
Keluarga kami adalah keluarga yang sederhana (aku bilang kaya akan cinta). Yah cinta itu yang membuat kami memiliki harapan. Harapan itu ada karena kami memiliki Tuhan. Bapak selalu menanamkan resep itu. Pendidikan adalah jembatan untuk meraih masa depan kami.
Masih ingat dalam benakku bagaimana Bapak banting tulang demi anak-anaknya bisa mengenyam bangku perguruan tinggi. Betapa tidak dalam waktu yang sama 3 anaknya kuliah. Mesin ketik tuanya menjadi saksi bagaimana 5 sarjana dihasilkan oleh karya-karyanya (meski honor tulisan bahasa jawa bapak sangat kecil, tapi cukup menolong kami bertahan).
patriotisme adalah sikap seseorang yg bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya; semangat cinta tanah air.
Bapakku juga masuk di dalamnya. Bapak seorang patriot Sastra Jawa, pejuang tak berbambu runcing. Seperti yang dituliskan oleh Om Tito S. Budi (sahabat karib Bapak) sebagai bentuk obituary-nya di halaman putih Jawa Pos dengan judul Sang Pendongeng, sastra jawa sekarang tumbuh di atas tanah yang tandus, kerontang, sempit pula. Tapi mulianya selalu saja ada yang setia menabur benih, memupuk, merawat, walau hasilnya tak sepadan dengan jerih payahnya. Salah satunya Bapakku, Wisnu Sri Widodo. Dalam kurun waktu 34 tahun (1979-2013), Bapak telah menulis lebih dari 1500 judul cerita wayang dan cerita rakyat. Tembang Bumi Medhang, adalah tulisan cerita rakyat berbahasa jawa terpanjang yang pernah ada (80 seri) yang pemuatannya membutuhkan 3 tahun di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Tulisan lain seperti geguritan dan tembang macapat tak terhitung. Beliau juga menulis beberapa cerita bersambung dan cerita pendek berbahasa Jawa.
Bahkan Suparto Brata, "panembahan" pengarang bahasa Jawa pun mengakui produktifitas penulisan Bapak.
Namun sekalipun begitu banyak karya beliau namun Bapak tidak pernah tercatat sebagai sosok penting dalam peta kepengarangan sastra Jawa. Tak muncul namanya dalam Bunga Rampai Sastra Jawa Mutakhir susunan J.J.Ras. Dengan rendah hati Bapak menanggapi, "Saya kan pendongeng bukan pengarang" sambil tersenyum. Itulah Bapak orang yang sederhana tapi inspiratif. Tak perlu tenar untuk menginspirasi banyak orang. Justru melalui kesederhanaan banyak kesuksesan dilahirkan. Untuk membuat karya tidak perlu sanjungan orang, karena karya lahir dari jiwa. Dan karya yang sederhana mampu menjadi mahakarya bagi pembaca. Kesederhanaan dan kerendahan hati Bapak sangat menginpirasiku, menjadi teladan bagi hidupku. Terima kasih Bapak. Patriotku.
Kamis 10 Januari 2013, Bapak dipanggil Sang Khalik, sang pemilik hidup. Aku sangat kehilangan. Empat puisi tercipta untuk beliau serial Dukaku.
DUKAKU
Mendung hitam yang menggelayuti langit
bermetamorfosa menjadi rintik dan derasnya hujan
mewarnai sempurna
dukaku karena kehilanganmu
Aku terdiam
menahan buncah rasa dalam dada
kenangan bersamamu seakan berputar dalam kepala
mengiris, mengurai, mengoyak jiwa
bahkan glandula lacrimalisku pun
tak mampu menahan butiran-butiran perak
"Le, bocah lanang iku kudu bisa mikul dhuwur lan mendhem jero"
Aku sudah lakukan itu Bapak, lirih suaraku dalam hati
saat harus kugotong petimu dan menimbun tanah pusaramu
pun telah kulakukan yang terbaik untuk menjunjung namamu
dengan segenap asa prestasiku
sehingga semuanya boleh tertanam dalam kebanggaan hatimu
Aku tertegun
terusik lagi wejanganmu
"yang dari tanah akan kembali menjadi tanah"
saat melihat pusaramu
yang di dalamnya tertanam tubuhmu yang rapuh
Hidup adalah perjalanan waktu
dan kita semua sedang berlayar pada satu tujuan yang sama
kematian hanyalah pintu menuju hidup yang kekal
aku melihatmu tersenyum dalam wajah fanamu
aku tahu,
karena engkau sudah dalam pelukan Bapa di Sorga
Selamat berpulang Bapak
Selamat berpulang ke Rumah Bapa di sorga
Damai sejahtera-Nya akan melingkupimu selalu
Surabaya, 15 Januari 2013
Bahkan puisi ini tidak bisa menggambarkan dukaku
Meski 1 tahun lewat Bapak berpulang tetap saja aku masih merindukan patriotku ini. Berikut puisiku yang mewakilinya.
DAN AKU MASIH TETAP MERINDUKANNYA
masih...
berharap berjumpa dengannya
meski hanya membaca namanya
mencari majalah yang sama
berjumpa memupus gejolak hati
satu tahun lewat nama itu tak kulihat
...dan aku masih tetap merindukannya
untuk bapak
Bapak Wisnu Sri Widodo, patriot hidupku, patriot sastra Jawa...
Artikel ini berjudul : Wisnu Sri Widodo : Patriot Hidupku, Patriot Sastra Jawa di ikutkan dalam :
Matur nuwun...
Tulisan ini terpilih menjadi Pemenang GA Sang Patriot bersama 29 Pemenang lainnya.
Klik di sini untuk melihat pengumumannya. Terima kasih untuk doa dan supportnya...