Minggu, 15 Juni 2014

BEBAN YANG HARUS DITANGGUNG AKIBAT TB

TB masih menjadi masalah kesehatan di tingkat dunia, dengan perkiraan kasus sebanyak 8,6 juta. TB juga masih menjadi penyebab kematian utama di banyak negara berkembang. Indonesia menduduki peringkat keempat dengan jumlah kasus TB terbanyak di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan. Keempatnya adalah negara yang berkembang, menurut kategori World Bank.

Berdasarkan data dari World Bank ke-4 peringkat terbanyak kasus TB terbanyak di dunia memiliki GNI (Gross National Income) per kapita di bawah rata-rata dunia.

Sumber di sini
Rata-rata GNI dunia pada tahun 2012 adalah 10.212,3 US$. Dimana GNI ke-4 negara tersebut menurut data Bank Dunia di tahun 2012 adalah sebagai berikut :
  1. India dengan GNI sebesar 1.550,0 US$
  2. Cina dengan GNI sebesar 5. 720,0 US$
  3. Afrika Selatan dengan GNI sebesar 7.460,0 US$
  4. Indonesia dengan GNI sebesar 3.420,0 US$
GNI sendiri adalah pendapatan nasional bruto yang dikonversikan ke dollar Amerika Serikat dengan metode Atlas Bank Dunia, dibagi dengan populasi pada tengah tahun. GNI, dihitung dalam mata uang nasional, biasanya dikonversi ke dolar AS dengan kurs resmi untuk perbandingan antar negara, meskipun tingkat alternatif digunakan ketika nilai tukar resmi dinilai menyimpang dengan margin yang sangat besar dari tingkat benar-benar diterapkan dalam transaksi internasional . Untuk memuluskan fluktuasi harga dan nilai tukar, metode khusus Atlas konversi yang digunakan oleh Bank Dunia.

GNI per kapita yang rendah ini mengindikasikan kemampuan ekonomi yang lemah. Hal ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat yang GNI per kapita tinggi namun kasus TBnya rendah. Jadi ada korelasi antara ekonomi lemah dengan berkembangnya kuman TB.

Ekonomi Lemah & TB

Ada korelasi timbal balik antara negara dengan ekonomi lemah dan berkembangnya TB. Mari kita simak ilustrasi berikut :
Sumber : dokumentasi pribadi

Seperti ilustrasi di atas ada korelasi antara negara dengan ekonomi lemah dengan berkembangnya TB. Di negara dengan ekonomi lemah kebanyakan terjadi ledakan penduduk karena program pembatasan kelahiran tidak berhasil. Penduduk yang banyak pada suatu negara menyebabkan rantai penularan TB berkembang lebih banyak dan pesat.

Kemiskinan yang terjadi di negara dengan ekonomi yang lemah berpengaruh terhadap terjadinya malnutrisi. Terjadinya malnutri membuat TB berkembang dengan pesat atau terputusnya rantai penularan menjadi lebih sulit. Bisa di baca di sini. Malnutrisi ini berkaitan dengan daya tahan tubuh untuk melawan kuman TB

Tingkat pendidikan pada negara dengan ekonomi lemah kebanyakan rendah. Hal ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap berkembangnya TB. Kesulitan penemuan pasien baru karena pengetahuan yang rendah dari masyarakat. Juga berpengaruh terhadap tingkat edukasi, sehingga pemahaman akan pengobatan tuntas TB tidak tercapai. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya resistensi obat TB. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di sini. 

Kemiskinan juga berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat. Gaya hidup yang tidak baik akan menyebabkan TB akan berkembang pesat. Untuk lebih jelasnya bisa di baca di sini. Gaya hidup yang tidak baik ditunjang kemiskinan menyebabkan masyarakat hidup dalam lingkungan yang tidak baik seperti lembab, kurang ventilasi sehingga menjadi tempat yang baik untuk berkembangnya kuman TB. Untuk lebih jelasnya bisa di baca di sini. 



Dana yang banyak dibutuhkan untuk mengatasi penyakit TB. Bagaimana tidak? Untuk mendiagnosis saja butuh dana yang tidak sedikit, belum untuk pengobatan yang memerlukan 6 bulan. Kalau terjadi resistensi obat dana yang dibutuhkan akan semakin besar. Hal ini tentu saja tidak akan mampu dipenuhi oleh negara dengan ekonomi lemah, sehingga TB makin berkembang pesat.



Begitu juga sebaliknya, TB yang berkembang memberikan dampak yang buruk bagi negara ekonomi lemah. Di negara berkembang dengan ekonomi lemah TB banyak menyerang usia produktif atau dewasa muda. Hal ini menyebabkan penderita tidak bisa bekerja bahkan harus rela kehilangan mata pencariannya karena kesakitannya itu. Bahkan beberapa penderita harus berhutang untuk biaya pengobatannya. Memang ada obat gratis, tapi mereka juga butuh uang untuk biaya transportasi, perawatan dan makanan yang bergizi.



Angka kematian yang tinggi akibat TB pada usia produktif menjadi beban tersendiri bagi negara dengan ekonomi lemah. 



Angka kematian akibat TB di dunia mencapai 1,3 juta jiwa per tahun, 410.000 pada wanita dan 74.000 pada anak-anak. Sebanyak 1,1 juta Orang dengan HIV menderita TB atau 13%, dengan kematian sekitar 320.000 jiwa. Untuk kasus TB resistan obat dari 450.000 kasus, 170.000 meninggal akibat penyakit ini.

Di Indonesia, setiap tahun terdapat 67.000 kasus meninggal karena TB atau sekitar 186 orang per hari. TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke (Riskesdas 2007).
Dana yang besar akibat TB yang berkembang menjadikan beban ekonomi bagi negara dengan ekonomi lemah, sehingga semakin lemah tingkat ekomominya. Jadi jelaslah bahwa ada hubungan timbal balik antara ekonomi lemah suatu negara dengan TB yang berkembang. 

DALLY & Beban Ekonomi Akibat TB

Bank Dunia telah rnengembangkan metode pengukuran beban penyakit menggunakan Disability Adjusted Life Year (DALY) yang mengkombinasikan kehilangan tahun kehidupan produktif karena kematian prematur dengan kehilangan tahun kehidupan produktif karena disabilitas.Sejak tahun 1995 Pusat Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesehatan Badan Litbang Kesehatan Depkes RI menggunakan metode DALY.

Untuk mengetahui beban penyakit TB di suatu negara perlu diketahui jumlah dan distribusi umur kasus baru TB yang terdapat di masyarakat setiap tahun dan jumlah serta distribusi umur penderita yang meninggal karena tuberkulosis setiap tahun.

Oleh karena sistem informasi kesehatan di negara berkembang terrnasuk Indonesia kurang mernadai. Maka beban penyakit TB biasanga diperkirakan secara tidak langsung dengan menggunakan beberapa parameter epidemiologi seperti :
  • Risiko tahunan rata-rata infeksi TB
  • Insiden sputum BTA positif
  • Proporsi kasus TB dengan BTA positif
  • CFR (Case Fatality Rate) untuk TB dengan sputum BTA positif
Beban penyakit TB  dapat dilihat dari berbagai perspektif : seperti beban dari perspektif keluarga, masyarakat dan negara.

Beban keluarga terutama menyangkut dana dan stigma negatif dari masyarakat sekitar. Seperti sudah dijelaskan di atas penderita kebanyakan usia produktif. Beban masyarakat adanya stigma negatif terhadap penderita TB menyebabkan terjadinaypengucilan penderita tersebut.

Beban penyakit TB untuk negara bisa dijelaskan seperti contoh berikut. Pada tahun 1993  total DALY di Indonesia yang hilang karena penyakit TB mencapai 5.074.140 atau 13% dari beban penyakit nasional. Dengan 2.799.849 DALY terjadi pada laki-laki dan 2.274.291 DALY terjadi pada wanita. Sebagian besar (99%) atau 5.026.026 DALY disebabkan karena kematian prematur dan kurang dari 1 % atau 48.114 DAL Y karena disabilitas.

Berdasarkan kelompok umur (sesuai besarnya DALY hilang) adalah sebagai berikut :
  • Kelompok umur 15 - 44 tahun : 3.065.267 DALY
  • Kelompok umur 45 - 59 tahun : 1.028.755 DALY
  • Kelompok umur > 60 tahun : 491.858 DALY
  • Kelompok umur 5-14 tahun : 393.138 DALY
  • Kelompok umur 0-4 tahun : 95.121 DALY
Perhitungan beban ekonomi penyakit dapat dihitung dengan beberapa pendekatan :
Berdasarkan Human Capital Approach dapat dihitung :
  • Penghasilan yang hilang karena penyakit dan disabilitas
  • Penghasilan yang hilang (seharusnya diperoleh), karena terjadi kematian prematur.
Selain itu dapat dihitung pula biaya penyakitnya sendiri yang meliputi :
  • Biaya langsung : medis dan non medis (transport)
  • Biaya tidak langsung (penghasilan yang hilang)
  • Biaya intangibel (tak dapat dihitung secara kuantitatif) seperti penderitaan, rasa sakit dan lain-lain.
Untuk sektor kesehatan, biaya pengoragisasian dan pelaksanaan program pemberantasan (termasuk gaji, bahan, administrasi, bangunan, perlengkapan dan lain-lain) harus pula diperhitungkan.

Dari perspektif  negara, TB menyebabkan kehilangan tahun-tahun produktif dalam satuan DALY sebesar 5.074.140. Bila diperkirakan GDP per kapita penduduk Indonesia adalah 950.00 US$. Maka penghasilan masyarakat yang hilang karena disabilitas dan kematian prematur sebesar 4.820.433.000 US$ atau sekitar 14,5 triliun rupiah setahun yang jauh lebih besar dari anggaran sektor kesehatan dalam setahun. Karena TB mengenai kelompok produktif (15-59 tahun), secara umum kinerja produktivitas negara juga akan berpengaruh.

Beban biaya ekonomi akibat TB yang terbaru adalah dari 40 triliun rupiah (4 Milyar USD) dengan rasio 5%,  menjadi sekitar 5 triliun rupiah (500 juta USD) pada rasio 95%. Indonesia yang saat ini berada di sekitar posisi 75%, meskipun tergolong cukup baik, beban ekonomi yang masih mesti ditanggung sebesar 1,3 juta USD dengan komposisi beban paling besar adalah sektor kematian prematur (loss of productivity due to premature death) yang mencapai 1,16 juta USD.

Beban kematian prematur pasien TB yang tidak mendapat perawatan dapat mencapai 20 kali lipat ($8.800) dari pasien yang mendapat perawatan. Hal yang sama juga terjadi pasien MDB-TB dimana beban biaya pasien yang tidak mendapat perawatan 7 kali lipat lebih besar ($14.333).

Biaya Layanan TB

Berdasarkan target Kementerian Kesehatan untuk penemuan dan pengobatan, total biaya pemberian pelayanan untuk seluruh wilayah negara diproyeksikan meningkat dari sekitar 85 juta US$ pada tahun 2013 menjadi 118 juta US$ pada tahun 2016. 

Rerata biaya pengobatan kasus TB pada tahun 2014 akan menjadi 228 US$ dan rerata biaya pengobatan untuk kasus MDR-TB akan menjadi 10.027 US$.

Sebagai contoh data di Jawa Tengah dana yang diperlukan untuk mencapai target tahun 2014 diestimasikan sebesar 12,8 juta US$ dan diperkirakan akan meningkat menjadi 14,0 juta US$ pada tahun 2016
Nilai tengah (median) biaya untuk seorang pasien TB sebesar Rp.339.000,- untuk fase diagnosis, Rp.509.000,- untuk fase pengobatan intensif dan Rp.790.000,- untuk fase kelanjutan pengobatan

Nilai tengah (median) untuk biaya MDR-TB jauh lebih tinggi yaitu sebesar Rp.450.000,- untuk fase diagnosis, Rp.10.453.000,- untuk fase pengobatan intensif, dan Rp.11.893.000,- untuk fase kelanjutan pengobatan MDR-TB

Berikut salah satu metode yang digunakan untuk menghitung biaya TB
Metode Alat Hitung yang dikembangkan MSH & Kemenkes Indonesia
Sumber di sini
Metode penghitungan biaya pelayanan TB tersebut menggunakan asumsi sebagai berikut :
  • Semua asumsi pembiayaan dapat sepenuhnya disesuaikan dan mudah diperbaharui dalam alat penghitungan
  • Hitungan berdasarkan data 2011 dan diproyeksi hingga tahun 2021
  • Simulasi hitungan ini, laju pertumbuhan masyarakat tahunan adalah 1%
  • Biaya inflasi nasional adalah 4.5%
  • Biaya ditampilkan dalam US$
  • Biaya dari biaya rawat inap pasien untuk sementara menggunakan tarif yang dikumpulkan dari rumah sakit
Berdasarkan model penghitungan di atas, maka perlu diketahui :
  • Proyeksi Kasus dan kejadian TB  2011- 2015
Dengan penghitungan menggunakan simulasi di atas, data yang di tahun 2011,  tim peneliti memproyeksikan bahwa hingga tahun 2015 akan terjadi penurunan insidensi TB yang diikuti dengan peningkatan penemuan kasus TB (Case notification rate).
Sumber di sini
  • Proyeksi Komponen Biaya Layanan Kesehatan (Service Delivery Cost in US$)
Biaya per kapita program TB, proporsi untuk obat TB dan MDR-TB dan pelayanan Monitoring TB dan MDR-TB semakin lama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kasus dan inflasi.
Sumber di sini
Program TB Dalam BPJS

Ada 3 skenario dalam BPJS untuk program TB. Skenario ini berdasarkan proyeksi roadmap BPJS 40% yang ditanggung saat ini (Gabungan Jamkesman, PT Askes & Jamsostek) hingga mencakup 100% pada tahun 2019.
  • Skenario 1 
BPJS menanggung seluruh layanan TB di fasilitas kesehatan, termasuk obat TB dan MDR-TB, laboratorium, dan lainnya. Terlihat bahwa dengan cakupan yang semakin besar, maka beban biaya BPJS akan menjadi semakin besar pula.
Sumber di sini
  • Skenario 2
Program TB ditanggung sepenuhnya oleh BPJS kecuali obat TB dan MDR-TB serta reagen untuk diagnostik TB. Dapat dilihat bahwa diagnostik dan obat sangat besar biayanya.
Sumber di sini
  • Skenario 3
Program TB di fasilitas kesehatan ditanggung sepenuhnya oleh BPJS kecuali obat TB dan MDR-TB yang ditanggung oleh pemerintah. Dalam skenario 3 ini, semakin lama beban BPJS akan semakin besar akibat dari semakin besarnya cakupan pelayanan untuk MDR-TB. Pada akhirnya, total biaya tersebut diproyeksikan kurang lebih mencapai 50% - 50% antara pemerintah dan BPJS.
Sumber di sini 
Berdasarkan biaya per kapita, Pemerintah pasti akan membiayai orang-orang yang belum tercakup dalam BPJS dan seluruh penduduk termasuk yang tercakup dalam BPJS untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya upaya kesehatan masyarakat (UKM) atau komponen-komponen tertentu dalam pelayanan TB. Sedangkan BPJS hanya akan menanggung beban biaya dari anggota BPJS. Dampak baya per kapita di tahun 2014 dapat dilihat pada gambar berikut.
Sumber di sini
Catatan :  Obat-obatan yang disedikan pemerintah dan donor tidak dimasukkan dalam perhitungan premi yang hendak ditetapkan dalam jaminan kesehatan nasional

Penutup

Indonesia harus memiliki komitmen untuk mandiri dari donor, terutama Global Fund (GF) seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit, Penyehatan Lingkungan Kementerian (PP&PL), Direktur Pengendalian Penyakit Menular Langsung (PP&ML) dan Kementerian Kesehatan RI.

Pemerintah mengharapkan, pada tahun 2016, 80% dari seluruh kebutuhan pendanaan untuk pelayanan program TB dapat bersumber dari domestik.  Pemerintah telah menyusun tiga kunci strategis dalam menghadapi keberlanjutan pembiayaan program TB, yaitu :
  • Meningkatkan alokasi pembiayaan pemerintah baik pusat maupun daerah 
  • Meningkatkan pembiayaan asuransi dan kontribusi swasta sebagai contoh CSR 
  • Penerapan program secara cost-effectiveness dan efisien yaitu tetap menerapkan program DOTS.
Keberhasilan program DOTS akan memulihkan penderita usia produktif kembali bekerja. Sehingga akan memiliki pengaruh positif terhadap beban ekonomi negara.

Oleh karena itu marilah kita dukung upaya pemerintah dalam mengatasi beban yang ditanggung akibat TB, baik itu beban ekonomi maupun kematian. Caranya adalah memperkecil beban ekonomi dan kematian akibat TB yaitu dengan : Melakukan pencegahan TB & pengobatan penderita TB sampai tuntas.

Setiap pencegahan kasus TB dapat menghemat beban biaya yang dikeluarkan pemerintah. 
  • Untuk TB, pencegahan kasus dapat menghemat biaya sistem kesehatan hingga $171 dan mengemat pengeluaran keluarga hingga $791. 
  • Untuk MDR-TB, biaya yang dapat ditekan mencapai $4,972 dan beban keluarga mencapai $4,077. 
Oleh karena itu, pembiayaan TB yang hanya kurang lebih sebesar $20 cents per kapita dapat memberikan kontribusi yang besar dalam menurunkan kasus TB menjadi MDR-TB, melindungi individu dari kemiskinan,  dan membangun ekonomi bangsa Indonesia. Berikut ilustrasi biaya yang dikeluarkan 1 kasus yang diobati dan tidak. Dimana menunjukan pengobatan TB yang tuntas menghemat biaya dan menurunkan beban ekonomi akibat TB.
Sumber di sini
Sebagai warga negara Indonesia yang baik mari kita bersama-sama membantu pemerintah untuk memperkecil beban ekonomi yang harus ditanggung akibat TB yaitu dengan melakukan pencegahan TB dan mendukung upaya pengobatan penderita TB melalui :
  • Memiliki gaya hidup sehat (lingkungan maupun diri sendiri) serta menyebarkan pola hidup sehat tersebut ke orang lain. Pola hidup sehat akan meningkatan kekebalan tubuh sehingga dapat mencegah tertular TB.
  • Mencegah dan melindungi anak dari TB dengan vaksinasi BCG.
  • Menemukan penderita TB di sekitar kita dan mengajaknya untuk memeriksakan diri
  • Menyebarkan pengetahuan tentang TB kepada orang lain.
  • Menolong dan memotivasi pasien TB agar sembuh dengan menuntaskan pengobatannya, menjadi PMO, memberikan pengertian tentang gaya hidup yang baik, lingkungan yang sehat dan makanan yang bergizi.
  • Tidak memberikan stigma negatif pada penderita TB.
  • Untuk MDR TB dapat dilihat di sini.
  • Untuk TB pada ODHA dapat dilihat di sini.

Jika ingin mengetahui informasi tentang TB lebih lanjut, silahkan akses informasinya di :
Web          : http://www.tbindonesia.or.id/
Facebook : Stop TB Indonesia
Twitter       : @StopTBIndonesia

Tulisan ini diikutkan dalam Blog CompetitionTemukan dan Sembuhkan Penderita TB, Serial 6 dengan tema Beban Ekonomi dan Kematian Akibat TB.

#SembuhkanTB @TBIndonesia

Sumber Pustaka :

Indonesia TB Program Economic Burden & Service Delivery Cost
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan
http://blog.tbindonesia.or.id
http://www.kpmak-ugm.org

Artikel terkait :

Serial 1
Serial 2
Serial 3
Serial 4
Serial 5
Serial 7
Serial 8

1 komentar:

  1. Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua,SAYA IBU SUKMA Sengaja ingin menulis
    sedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
    kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
    Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
    500 JT saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
    melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
    dengan AKI SAKTI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 HARI
    saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KI sakti
    kata BELIAU pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
    penarikan uang gaib 2Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
    dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 2M yang saya
    minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
    buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
    Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
    sering menyarankan untuk menghubungi Aki Sakti DI NOMOR 085_242_421_477
    agar di berikan arahan. jika ingin seperti saya coba hubungi Aki Sakti pasti akan di bantu Oleh Beliau

    BalasHapus