Sabtu, 24 Mei 2014

AYO KITA LAWAN KOINFEKSI TB & HIV

Sumber di sini dan sini














Diterjemahkan dari sumber gambar :

https://www.k4health.org/sites/default/files/TB%20HIV%20FLIPCHART.pdf


Ilustrasi di atas menggambarkan secara singkat tentang TB dan HIV. Mari kita belajar lebih dalam lagi mengenai TB dan HIV.

Menurut data Global Report WHO 2013 menunjukkan 1,3 juta orang meninggal karena TB, termasuk 320 ribu kematian di antara orang dengan HIV positif. Risiko terkena TB diperkirakan antara 12-20 kali lebih besar pada penderita HIV dibandingkan tanpa infeksi HIV. Diperkirakan pada tahun 2012 dari 8,7 juta kasus baru TB, sebanyak 1,1 juta orang adalah HIV positif.

Di Indonesia, TB merupakan tantangan bagi pengendalian AIDS karena merupakan infeksi penyerta yang sering terjadi pada ODHA (31,8%). WHO memperkirakan jumlah pasien TB dengan status HIV positif di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 7,5%, terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 3,3% (Global Report WHO 2013).

Kalau kita sudah belajar tentang TB dari serial 1 sampai 4, sejenak kita akan belajar singkat tentang apa itu HIV.

HIV & AIDS

HIV adalah kependekan dari Human Immunodeficiency Virus. Virus ini muncul pertama kali di dunia pada tahun1970-an. Menurut para peneliti ada 2 jenis virus ini. HIV 1 merupakan jenis yang predominan di seluruh dunia dan HIV 2 terutama terdapat di Afrika Barat. Virus ini secara berangsur-angsur menghancurkan sel-sel pertahanan tubuh, sehingga tubuh tidak dapat mempertahankan diri terhadap infeksi. 

Di negara-negara dengan prevalensi TB tinggi, orang yang terinveksi HIV akan mudah terkena TB. Sehingga TB tidak dapat dikendalikan. Sedangkan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrome penyakit yang disebabkan oleh virus HIV

VIRUS HIV

Virus HIV dapat menyebar melalui berbagai cara :
  • Melalui hubungan heteroseksual antara pria dan wanita (April-Juni 2013 menunjukkan bahwa persentase faktor risiko AIDS yang tertinggi adalah hubungan seksual yang tidak aman pada heteroseksual (78,4%)).
  • Melalui hubungan homoseksual antara pria dan pria
  • Melalui darah yaitu :
  1. Transfusi darah dengan darah yang tidak diperiksa HIV
  2. Penggunaan jarum suntik yang tidak disterilisasi dengan baik. Hal ini biasa terjadi pada penyalahguna obat
  • Dari ibu ke anak, transmisi kongenital. Juga dapat melalui air susu ibu. Kira-kira sepertiga anak yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV juga akan terinfeksi HIV.
Selain hubungan seksual atau kontaminasi darah tidak ada risiko penularan dari orang ke orang. Tidak berbahaya merawat pasien terinfeksi HIV atau AIDS selama berhati-hati dengan jarum suntik dan darah.

Ada suatu selang waktu, biasanya beberapa tahun, antara terjadinya infeksi virus HIV sampai timbulnya gejala-gejala AIDS. Periode ini lebih pendek pada anak-anak di bawah 5 tahun dan dewasa usia di atas 40 tahun. Selama 'masa inkubasi' ini pasien bisa merasa cukup baik (meskipun ia tetap infeksius). 

Berkembangnya TB seringkali merupakan gejala pertama yang menunjukkan bahwa pasien terinfeksi HIV. Pada kira-kira 50% pasien yang mengidap HIV dan TB tidak ada bukti lain dari infeksi HIV. Satu-satunya jalan untuk menegakkan diagnosis adalah dengan melakukan tes HIV. 

Ada bukti bahwa TB pada pasien yang terinfeksi HIV dapat mempercepat timbulnya gejala AIDS. Pada daerah sub Sahara Afrika dan kini Asia, penyebaran AIDS secara heteroseksual merupakan cara yang paling umum. Sehingga TB dapat merupakan komplikasi baik pada pria dan wanita.


OBAT HIV

Sampai saat ini tidak ada vaksin yang efektif untuk HIV. Obat-obat baru (zidovudin, lamivudin, nelfinavir, ritonafir, loviride), khususnya bila diberikan dalam bentuk kombinasi akan memperlambat timbulnya dan perkembangan AIDS tetapi masih sangat mahal.

DIAGNOSIS & PEMERIKSAAN HIV

Penderita kadang datang dengan tanda dan gejala TB atau infeksi lain, namun kadang sering tanda dan gejala tak terlihat. Diagnosis ditegakkan untuk membuktikan infeksi HIV adalah dengan melakukan tes terhadap antibodi HIV. Namun aturannya diharuskan meminta ijin penderita untu melakukan tes tersebut. Sebelumnya harus dilakukan konseling terlebih dahulu mengenai pentingnya tes tersebut dan apa arti jika hasil tersebut negatif atau positif.

Tes antibodi HIV merupakan satu-satunya cara untuk menegakkan diagnosis. Jika sarana dan prasarana tidak memungkinkan, diagnosis dapat ditegakkan dengan mempertimbangkan semua gejala klinis.

Jika pemeriksaan HIV tidak tersedia. Menurut WHO diagnosis AIDS ditegakkan apabila didapatkan paling sedikit ada 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.

Gejala mayor
Gejala minor
Berat badan berkurang > dari 10%
Batuk persisten selama > dari 1 bulan
Diare kronik lebih > 1 bulan
Dermatitis seluruh tubuh yang terasa gatal
Demam berkepanjangan > dari 1 bulan
Riwayat Herpes Zooster

Infeksi kandida (bercak putih karena jamur, nyeri dalam mulut)

Herpes simpleks kronik yang makin berat dan luas

Pembesaran kelenjar getah bening di seluruh tubuh
Catatan :
Penurunan berat badan, demam yang berkepanjangan dan batuk yang yang persisten dapat disebabkan oleh TB. Oleh karena itu untuk menentukan apakah pasien mengidap TB atau AIDS tanda-tanda lain jadi lebih penting. Jika telah dibuktikan penderita mengidap TB (tes sputum positif), tanda-tanda lainnya akan membuktikan bahwa pasien juga mengidap HIV/AIDS.

Di Indonesia, kasus AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1987 di Bali. Sejak saat itu penyebaran epidemik mulai terjadi di Indonesia. Jumlah kumulatif kasus AIDS dari 1987 sampai Juni 2013 sebanyak 43.667 kasus. 

"DUET MAUT" KOINFEKSI TB DAN HIV

HIV menjadi faktor predisposisi terpenting untuk berkembangnya TB. Pada penderita yang mengalami koinfeksi M. Tuberculosis dan HIV risiko total pertahun untuk berkembangnya TB aktif meningkat dari 0,4% menjadi 8% (20 kali lipat). Karena alasan itulah maka infeksi M.Tuberculosis dan HIV disebut sebagai "cursed duet ". Saya sendiri lebih suka menyebut sebagai " duet maut ".

Sepertiga penderita yang terinfeksi HIV (ODHA = Orang Dengan HIV AIDS) di dunia mempunyai koinfeksi dengan TB. TB pada ODHA dapat memiliki gambaran klinis tidak khas yang menyebabkan kesulitan diagnosis. 

TB menjadi infeksi oportunistik yang terbanyak dan menyebabkan kematian ODHA. Di negara-negara Asia diduga 40% dari kematian ODHA disebabkan oleh TB. Koinfeksi HIV-TB telah menjadi ancaman kesehatan bagi umat manusia, yang apabila tidak ditangani serius akan menyebabkan keduanya tidak dapat lagi dikendalikan.

INTERAKSI HIV DAN TB

HIV dan M.Tuberculosis keduanya merupakan patogen intraseluler yang saling berinteraksi baik pada tingkat populasi, klinis maupun seluler. ODHA rentan terhadap TB. Progresivitas TB menjadi aktif sejak awal paparan lebih besar pada ODHA (40%) dibandingkan dengan pada non ODHA (5%). Risiko terjadinya reaktivasi TB pada ODHA 2,15% per tahun dibandingkan non ODHA yang kurang dari 0,1% per tahun.

TB juga terbukti mempercepat perjalanan infeksi HIV. Angka mortalitas HIV-TB 4 kali lebih tinggi dibanding angka mortalitas TB-non HIV. Tingginya angka mortalitas ini disebabkan infeksi HIV yang progresif, walaupun mortalitas dini (dalam 3 bulan pertama) kebanyakan disebabkan karena TB nya sendiri.

GAMBARAN KLINIS KOINFEKSI TB-HIV

Gejala TB pada populasi HIV umumnya non spesifik. Seperti telah disebutkan di atas gejala TB dan HIV hampir sama. Penderita dengan riwayat batuk > 3 minggu, sputum produktif dan berat badan turun harus dicurigai TB. Namun gejala tersebut dapat juga disebabkan oleh AIDS (AIDS waisting syndrome), infeksi Mycobacterium Avium Complex (MAC), infeksi Cytomegalovirus (CMV), keganasan, atau penyakit lain. Sulit bagi klinisi untuk memberikan obat anti TB pada ODHA.

Hasil pemeriksaan sputum pada ODHA menunjukkan sekitar 50% BTA negatif. Tetapi angka negatif palsu mungkin lebih tinggi daripada non ODHA. Namun TB pulmonal harus tetap dipertimbangkan , meskipun tidak ada gejala. Sehingga harus dilakukan pemeriksaan standar yaitu sutum/BTA 3 kali dan pemeriksaan foto dada.

Gambaran foto dada pada ODHA dengan TB paru tidak khas. Semakin berat gangguan imunologis semakin tidak khas gambaran foto dadanya. Diperkirakan 20% foto dada pada ODHA adalah normal.

DIAGNOSIS

Pendekatan diagnosis TB pada ODHA tidak berbeda dengan non ODHA. Penderita yang diduga TB paru berdasarkan keluhan dan pemeriksaan fisik harus diperiksa sediaan sputum 3x di bawah mikroskop. Pemeriksaan 3x ini karena kemungkinan menemukan BTA lebih besar dibandingkan jika hanya 2 atau 1x. Hasil lebih baik jika diambil pada pagi dini hari.  Ada 2 pemeriksaan pokok untuk menentukan TB yaitu BTA & Kultur/biakan sputum. 

Kultur bakteri memerlukan waktu yang lama (3-4 minggu) untuk menumbuhkan koloni dengan media tradisional lowenstein jensen. Hasil pemeriksaan kultur dengan metode BACTEC memerlukan waktu lebih singkat (2 minggu) namun lebih mahal.

TB EKSTRA PARU PADA ODHA

TB ekstra parung sering terjadi pada ODHA. Bentuk TB ekstra paru pada ODHA adalah TB kelenjar (limfadenopati), efusi pleura(cairan di pleura), efusi perikardial, TB milier dan meningitis. Perlu diingat bahwa banyak penderita TB ekstra paru yang juga menderita TB paru. Jadi jika ditemukan TB ekstra paru harus juga dilakukan pemeriksaan TB paru dengan sputum dan foto dada.

Diagnosis TB ekstra paru kadang sulit ditegakkan. Diagnosis dibuat dengan cara menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Tingkat kepastian ini tergantung tersedianya perangkat diagnostik, ahli radiologi dan prosedur biopsi.

GAMBARAN KLINIS INFEKSI HIV PENDERITA TB

Dasar
Penjelasan
Riwayat Penyakit Dahulu
IMS
Herpes Zoster
Pneumonia berulang
Bacteriemia terutama Salmonella  typhimurium
Gejala
Berat badan turun  (>10 kg atau >20% dari berat semula)
Diare (>1 bulan)
Nyeri waktu menelan (gejala kandidiasis esofagus)
Rasa terbakar di kaki
Tanda-tanda
Jaringan parut Herpes Zoster
Ruam papular yang gatal
Sarkoma Kaposi
Limfoma generalisata persisten
Kandidiasis oral hairy leukoplakia lokal
Ulkus genital yang persisten dan nyeri
 Catatan : Diagnosis pasti tergantung pada hasil tes HIV positif

PENGOBATAN TB

Pengobatan TB pada ODHA masih diperdebatkan. Secara umum, pasien ODHA yang masih sensitif terhadap pengobatan, regimen standar selama 6 bulan sudah memberi hasil sputum negatif yang cepat dan angka kegagalan rendah. Sama seperti pada pasien non ODHA. Tetapi ada 2 penelitian yang menunjukkan angka kekambuhan pada ODHA yang menerima terpai TB selama 6 bulan lebih tinggi dibanding yang 9-12 bulan. Semakin lama pengobatan yang diberikan akan lebih efektif mencegah terjadinya reinfeksi.

Baru-baru ini terbukti melalui uji klinik bahwa kondisi dengan risiko tinggi infeksi TB, kejadian TB berulang pada ODHA meningkat karena terjadi reinfeksi dan bukan karena kambuh. Secara umum tetap dianjurkan terapi TB selama 6 bulan, namun jika respon klinis lambat harus diberikan sekurang-kurangnya 9 bulan atau 4 bulan setelah hasil biakan BTAnya menjadi negatif.

Aspek penting lain dari terapi TB adalah penerapan sistem directly observed therapy (DOT). Penelitian terakhir menunjukkan pentingnya DOT dalam mencegah terjadinya kekambuhan dan resistensi obat. WHO sangat menekankan penerapan sistem DOTS (Directly Observed Therapy and Short Course Chemotherapy) dalam program pemeberantasan TB di seluruh dunia.

Berlainan dengan terapi oportunistik pada ODHA, terapi TB umumnya tidak dilanjutkan dengan terapi rumatan (atau sering disebut sebagai terapi profilaksis sekunder). Alasan utamanya adalah kekhawatiran terjadinya resistensi obat TB pada penderita yang mendapat terapi seumur hidup.Namun sejumlah penelitian menunjukkan penurunan angka kekambuhan TB bila terapi diberikan dalam jangka lama. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa terapi profilaksis INH menurunkan risiko TB berulang pada ODHA, terutama pada penderita yang mengalami HIV simtomatis sebelum diagnosis awal TB. Namun temuan ini belum diterapkan untuk merubah kebijakan tatalaksana TB

TERAPI ODHA DENGAN KOINFEKSI TB

Terapi yang efektif dan pengendalian TB merupakan prioritas utama pengobatan penderita dengan koinfeksi HIV-TB. Tatalaksana koinfeksi HIV TB begitu rumit oleh karena obat ARV (Anti Retro Viral) menghasilkan interaksi yang tidak diinginkan dengan obat TB dan atau meningkatkan toksisitas obat TB

Dianjurkan untuk segera memulai ARV pada penderita TB dengan risiko tinggi perkembangan penyakit HIV, misalnya pada CD4 <200/mm3 atau menderita TB ekstra paru. Pada penderita TB-HIV dengan CD4 antara 50-200 atau hitung limfosit total <1200/mm3, AVR harus dimulai setelah 2 bulan pertama terapi TB karena toksisitas dari obat TB paling banyak terjadi periode waktu tersebut. Pada penderita dengan CD4 yang sangat rendah (<50/mm3) atau dengan penyakit HIV yang berat, ARV harus dimulai secepatnya setelah obat TB ditoleransi.

Pada penderita yang sudah menerima ARV bila kemudian terjangkit TB, maka regimen harus disesuaikan agar cocok dengan obat TB yang dipilih. Setelah terapi TB lengkap, maka ARV dapat diteruskan atau diganti tergantung keadaan klinis dan imunologis penderita.

REAKSI PARADOKS

Reaksi paradoks adalah perburukan klinis sementara atau munculnya tanda-tanda atau keluhan baru atau gambaran radiologis TB yang terjadi setelah terapi dimulai, bukan sebagai akibat kegagalan terapi atau proses sekunder. 

Reaksi paradoks  sudah dikenal sebelum era HIV. Saat itu dianggap sebagai reaksi hipersensitivitas tipe lambat, meningkatnya paparan dan reaksi terhadap antigen mikobakteria setelah dimulainya pengobatan TB. Sejak sebelum ditemukannya kombinasi ARV yang poten telah dikemukakan adanya fenomena serupa di antara penderita koinfeksi TB-HIV. Reaksi tersebut lebih bnayak berhubungan dengan pemakaian secara bersama ARV dan obat TB.

PROFILAKSIS/PENCEGAHAN TB PADA ODHA

Profilaksi TB pada ODHA masih diperdebatkan. TB laten pada ODHA berisiko lebih tinggi untuk berubah menjadi aktif dibandingkan dengan pada non ODHA. Risiko seumur hidup pada ODHA untuk mengidap TB aktif adalah sebesar 50%.

Sejumlah uji klinis menunjukkan INH yang diberikan sebagai obat tunggal untuk terapi profilaksis dapat menurunkan risiko terjadinya reaktifasi TB pada ODHA, paling tidak dalam waktu singkat dibandingkan dengan plasebo. Suatu metaanalisis juga menunjukkan penurunan TB aktif sekitar 60%, namun belum ada data statistik penurunan angka mortalitas.

Meskipun ada bukti INH dapat menurunkan risiko berkembangnya TB aktif pada ODHA, penerapan kebijakan semacam ini masih kontroversial. Uji kelayakan menunjukkan terapi profilaksis ditujukan pada individu yang tepat dan menyingkirkan adanya penyakit aktif serta menjaga kepatuhan minum obat.

MDR TB

Pembahasan tentang MDR TB sudah dibahas dalam serial sebelumnya. Anda dapat melihatnya di sini. Infeksi oleh MDR TB meningkatkan morbiditas dan kematian secara bermakna terutama pada ODHA. Hal tersebut terutama akibat penderita sering kali diobati dengan obat yang ternyata sudah resisten. ODHA sendiri memiliki risiko terkena MDR TB lebih besar dibanding penderita non HIV.

AYO LAWAN

Bagaimana kita bisa melawan koinfeksi TB dan HIV. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk melawannya:
  • Mencegah terkena TB dan HIV serta mencegah penularannya dengan cara
Untuk HIV :
  1. Tidak bergonta-ganti pasangan (free sex), hindari hubungan seksual di luar nikah
  2. Menggunakan alat pengaman (kondom) bagi yang berisiko tinggi
  3. Penggunaan jarum suntik yang benar dan steril
  4. Penderita HIV positif sebaiknya tidak melakukan donor darah
  5. Disarankan untuk tidak hamil bagi ibu yang positif HIV
 Untuk TB (lihat disini)
  • Mencegah resistensi obat TB (lihat disini)
  • Segera memeriksakan diri dan berobat jika ada tanda-tanda penyakit Tb dan akibat HIV (meskipun ARV hanya memperlambat timbul dan berkembangnya AIDS)
  • Penderita jangan diberi stigmata negatif. Hindari penyakitnya tetapi jangan hindari orangnya
  • Kerjasama lintas sektoral dan elemen dalam masyarakat untuk mengkampanyekan stop TB dan HIV
  • Peran pemerintah dalam mengadakan kelengkapan sarana dan prasarana diagnostik (laboratorium, uji tes dan sumber daya manusia) dan terapi (pengadaan dan distribusi obat).
TANTANGAN UTAMA

Tantangan utama pemberantasan TB pada ODHA dan HIV pada penderita TB adalah :
  • Menemukan penderita yang mengalami koinfeksi HIV dan TB tersebut. 
  • Melengkapi sarana dan prasarana diagnostik. Kurangnya sarana dan prasarana diagnostik baik berupa alat maupun sumber daya manusia adalah penyebab utama.
  • Terbentuknya jejanring lintas sektoral dan lintas elemen masyarakat untuk mengkampayekan program melawan koinfeksi TB dan HIV.
  • Dana. Bekerjasama dengan WHO dan Bank dunia untuk membiayai program yang ada.
  • Menghapus stigmata negatif masyarakat terhadap penderita HIV dan TB.
Jadi jelaslah sudah mari kita bersama-sama melawan koinfeksi TB dan HIV. Cegah HIV dan TB, dengan pola hidup yang benar dan sehat. Bersama kita bisa!

Jika ingin mengetahui informasi tentang TB lebih lanjut, silahkan akses informasinya di :
Web          : http://www.tbindonesia.or.id/
Facebook : Stop TB Indonesia
Twitter       : @StopTBIndonesia

Tulisan ini diikutkan dalam Blog CompetitionTemukan dan Sembuhkan Penderita TB, Serial 5 dengan tema : TB dan HIV: Tantangan ke Depan

#SembuhkanTB @TBIndonesia

Sumber Pustaka :

Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru Editor M. Jusuf Wibisono
Tuberkulosis Klinis, Harun M, dr et al
http://blog.tbindonesia.or.id

4 komentar:

  1. Selamat jadi pemenang :D Kereeen abiz deh ulasannya :))

    BalasHapus
  2. Selamat ya. Memang tulisannya keren!! ples tampilan gambarnya jelas dan ringkas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak Indah. Ayo semangat ngeblog karena banyak manfaatnya.Terima kasih sudah mampir. Salam

      Hapus