Jumat, 16 Mei 2014

CEGAH & BERANTAS MDR TB





















Ayo cegah dan berantas MDR TB

Sumber gambar :

Dikembangkan dan diterjemahkan dari :

http://drtbnetwork.articulate-online.com
http://blog.results.org.uk


Ilustrasi di atas secara singkat menjelaskan tentang apa itu MDR TB, pengobatan dan pencegahannya. Mari kita behas lebih lanjut mengenai MDR TB ini.

Menurut data dari WHO Global Report 2013 Indonesia berada di urutan 8 dari 27 negara dengan beban MDR TB terbanyak di dunia. Ada sekitar 6900 pasien dengan 5900 orang (1,9%) kasus baru dan 1000 orang (1250 dari kasus pengobatan ulang.

Sebenarnya kekebalan kuman TB terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) telah muncul sejak lama. MDR TB muncul seiring dengan dimulainya penggunaan Rifampisin secara luas semenjak tahun 1970-an.

Penatalaksanaan MDR TB memerlukan ketersediaan beberapa komponen seperti sarana laboratorium yang tersertifikasi khususnya untuk uji resistensi OAT, obat-obat TB lini kedua yang lengkap dan sumber daya manusia yang terlatih serta sumber dana yang memadai.

DEFINISI RESISTENSI OBAT

Konfirmasi resistensi obat TB dilakukan melalui uji laboratorium untuk menunjukkan isolat Mycobacterium Tuberculosis yang menginfeksi tubuh secara laboratorium sensitif atau telah resisten terhadap satu atau lebih obat-obat TB. Ada beberapa kategori resistensi terhadap obat TB yaitu :
  • Mono resistance adalah kekebalan terhadap salah satu OAT lini pertama
  • Poly resistance adalah kekebalan terhadap lebih dari satu OAT lini pertama, tetapi tidak resisten terhadap INH dan Rifampisin secara bersama-sama
  • Multidrug resistance (MDR) adalah kekebalan terhadap sekurang-kurangnya INH dan Rifampisin. Secara singkat MDR TB adalah resistensi terhadap INH dan Rifampisin secara bersama dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain
  • Extensive drug resistance (XDR) adalah selain MDR TB juga terjadi kekebalan terhadap salah satu obat golongan Fluorokuinolon sebagai OAT lini kedua dan sedikitnya salah satu OAT injeksi lini kedua (Kapreomisin, Kanamisin, dan Amikasin)
  • Totally drug resistance (TDR)  adalah kuman yang sudah resisten dengan seluruh OAT lini pertama (INH,Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid) dan OAT lini kedua (Amikasin, Kanamisin, Kapreomisin, Fluorokuinolon, Tionamid, PAS). TDR ini dikenal juga dengan istilah Super XDR TB
KONSEP DASAR

Ada 3 konsep dasar dalam kaitan perkembangan resistensi obat. Tiga konsep dasar tersebut adalah :
  • Resistensi Primer adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT atau sudah pernah mendapat pengobatan tetapi kurang dari 1 bulan. Pada resistensi ini terjadi oleh karena individu terpajan dengan kuman yang telah resisten terhadap obat TB atau disebut resistance among new cases.
  • Resistensi sekunder adalah resistensi yang terjadi pada penderita yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT (tercatat) minimal selama 1 bulan, dimana pengobatan yang tidak adekuat akan menimbulkan seleksi terhadap kuman yang resistensi terhadap obat yang diberikan dan disebut resistance among previously treated cases.
  • Resistensi natural adalah resistensi yang ditemukan pada strain liar yang timbul sebagai hasil multiplikasi berkelanjutan kuman-kuman tersebut, namun jumlah populasi ini tidak signifikan.
PENYEBAB RESISTENSI OBAT TB

Ada 3 faktor penyebab resistensi obat TB yaitu faktor kuman, faktor klinis dan faktor program. Resistensi obat TB ini pada dasarnya adalah suatu fenomena yang terjadi oleh karena perbuatan manusia sendiri (man made phenomena). Pada perspektif kuman resistensi obat TB terjadi oleh karena adanya mutasi genetik yang menimbulkan obat tidak efektif melawan kuman yang mengalami mutasi. Perspektif klinis dan pengobatan, resistensi terjadi karena terapi yang tidak memadai/adekuat atau kurang baik.

Pada awalnya resistensi obat TB terjadi karena kesalahan manusia (human error) yaitu meliputi kesalahan dalam penatalaksanaan kasus, manajemen logistik, peresepan obat. Beberapa human error yang sering terjadi antara lain :
  • Pemakaian obat tunggal dalam pemgobatan TB
  • Pemberian obat yang tidak adekuat (tidak teratur, dosis kurang, waktu yang tidak tepat)
  • Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya dilakukan tidak dengan baik sehingga mengganggu bioavaibilitas obat
  • Penyediaan obat yang tidak teratur
  • Pengetahuan penderita yang minimal tentang penyakit TB akibat tidak ada/kurangnya KIE dari provider terhadap penderita tersebut
Jadi terdapat 3 faktor utama penyebab terjadinya pengobatan TB yang tidak adekuat yang pada akhirnya memudahkan terjadinya kasus resistensi obat TB yaitu :

Faktor Penyelenggara Kesehatan :
Regimen yang tidak adekuat
Faktor obat : 
Ketersediaan/Kualitas yang tidak adekuat
Faktor Penderita :
Konsumsi obat yang tidak adekuat
Pedoman yang tidak sesuai
Kualitas yang buruk
Kepatuhan yang buruk
Tidak adanya pedoman
Ketidaktersediaan beberapa obat
Kurangnya informasi
Pelatihan yang kurang
Penyimpanan yang buruk
Kurangnya biaya
Tidak adanya pengawasan pengobatan
Kesalahan dosis
Kekurangan transportasi
Sedikitnya pembiayaan program TB kontrol
Kesalahan kombinasi
Efeksamping obat, hambatan sosial, malabsorbsi

PENEMUAN & DIAGNOSIS MDR TB

Resistensi obat berhubungan dengan riwayat pengobatan sebelumnya. Kemungkinan terjadi resistensi pada penderita dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah sebesar 4x lipat, sedangkan untuk terjadinya MDR TB sebesar 10x lipat atau lebih dibandingkan dengan pasien yang belum pernah diobati. 

Diagnosis MDR TB ditegakkan dengan uji sensitivitas obat atau Drug Susceptibility Testing (DST), bukan sekedar berdasarkan gambaran foto dada dan adanya faktor risiko yang ada pada seseorang. Pemilihan pasien yang akan dilakukan DST di negara dengan sumber daya yang tersedia, maka semua pasien TB dilakukan DST. Sedangkan di negara dengan sumber daya yang terbatas, pemilihan pasien yang akan dilakukan DST untuk menegakkan diagnosis MDR TB didasarkan indikasi. Pasien suspek MDR TB akan dilakukan kultur dan DST.

Bedasarkan adopsi dari WHO 2008 guidelines, di Indonesia kelompok individu yang perlu dilakukan DST sebagai pasien suspek TB adalah kelompok yang berisiko tinggi yaitu :
  • Individu yang mengalami gagal terapi setelah retreatment dan kasus kronik, dimana kelompok ini memiliki angka tertinggi (80%) menempati kasus MDR TB
  • Individu yang gagal terapi dengan OAT kategori 2 (sputum tetap positif pada bulan ke-3)
  • Individu yang diterapi OAT tetapi sputum tetap positif pada bulan ke-3 setelah pemberian sisipan pada kategori 1
  • Individu yang kembali setelah drop out pada pengobatan kategori 1 atau kategori 2
  • Memiliki riwayat pengobatan TB yang tidak adekuat, bukan DOTS atau managemen yang buruk.
  • Tinggal di daerah yang kasus MDR TB tinggi
  • Kasus TB kambuh (kategori 1 atau kategori 2)
  • Individu yang memiliki keluhan TB dan kontak erat dengan penderita MDR TB, termasuk petugas kesehatan yang kontak erat dengan penderita MDR TB
  • Memiliki kondisi komorbid dengan MDR TB, malabsorbsi atau rapid transit diare
  • Individu dengan infeksi HIV
DASAR-DASAR PENGOBATAN MDR TB

Berdasarkan WHO guidelines obat untuk MDR TB ada 5 grup berdasarkan potensi dan efikasinya.
  • Grup pertama : semua obat lini pertama yang terbukti sensitif seyogyanya digunakan, karena paling efektif & dapat ditoleransi dengan baik. Obat ini sebaiknya digunakan dengan dosis maksimal. Biasanya menggunakan Pirazinamid dan Etambutol
  • Grup kedua : obat injeksi bersifat bakterisidal. Golongan obat ini merupakan komponen yang krusial dalam regimen pengobatan MDR TB. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah yaitu melalui hasil kultur negatif. Penelitian di Peru, keadaan ini dicapai setelah minimal 6 bulan pengobatan. Kanamisin (Amikasin) jika alergi diganti Kapreomisin, Viomisin
  • Grup ketiga : Fluorokuinolon, merupakan obat bekterisidal tinggi. Semua pasien yang sensitif terhadap grup obat ini, harus mendapat kuinolon dalam regimennya (misalnya Levofloksasin, Moksifloksasin, Ofloksasin)
  • Grup keempat : merupakan obat bakteriostatik lini kedua. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon. Contoh obatnya adalah PAS (Para Aminosalicylic Acid), Etionamid, Protionamid dan Sikloserin
  • Grup kelima : golongan obat ini belum jelas efikasinya. Secara laboratorium menunjukkan efikasinya, tetapi data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal. Contoh obatnya adalah Amoksisilin+ Asam Klavulanat, Makrolide baru (Klaritromisin) dan Linezolid.
Pembuatan regimen pengobatan MDR TB didasarkan 3 pendekatan yang didasarkan atas riwayat obat TB yang pernah dikonsumsi penderita, data DRS di suatu area dan hasil DST dari penderita itu sendiri.

Di Indonesia karena sumber daya masih terbatas, pengobatan MDR TB menggunakan pengobatan dengan regimen standar. Adapun pentahapannya adalah sebagai berikut :

Tahap
Regimen
Tahap 1
gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih menunjukkan efikasi
Tahap 2
tambahkan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi berdasarkan hasil uji sensitivitas & riwayat pengobatan
Tahap 3
tambahkan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan fluorokuinolon
Tahap 4
tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan salah satu atau lebih dari obat golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin efektif
Tahap 5
pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar MDR TB) apabila dirasakan belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4

Selain itu ada beberapa butir dalam pengobatan MDR TB yang dianjurkan WHO sebagai prinsip dasar yaitu :
  • Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah diminum penderita
  • Dalam pemilihan obat pertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan obat lini kedua yang berada di area/negara tersebut
  • Regimen minimal terdiri dari 4 obat yang jelas diketahui efektifitasnya
  • Dosis obat diberikan berdasarkan berat badan
  • Obat diberikan sekurang-kurangnya 6 hari dalam seminggu, apabila mungkin etambutol, pirazinamid dan fluorokuinolon diberikan setiap hari oleh karena konsentrasi dalam serum yang tinggi memberikan efikasi
  • Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah terjadi konversi
  • Apabila terdapat DST, maka harus digunakan sebagai pedoman terapi. DST tidak memprediksi efektivitas atau inefektivitas obat secara penuh
  • Pirazinamid dapat digunakan dalam keseluruhan pengobatan apabila dipertimbangkan efektif. Sebagian besar penderita MDR TB memiliki keradangan kronik di parunya, dimana secara teoritis menghasilkan suasana asam yang mana pirazinamid bekerja aktif
  • Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan
Pengobatan pasien MDR TB terdiri dari 2 tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan pasien TB bukan MDR yaitu sekitar 18-24 bulan. 

Pada tahap awal penderita akan mendapatkan OAT lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif sebagaimana disebutkan di atas, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi.

Dua hal yang sangat penting yang harus diperhatikan adalah :
  • KIE (Konsultasi Informasi Edukasi) yang bersifat komprehensif terhadap penderita dan keluarganya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan.
  • Selama pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung atau directly observe therapy (DOT).
PEMANTAUAN SELAMA PENGOBATAN

Evaluasi awal merupakan penentu kondisi klinis pasien dan apakah diperlukan pengobatan ancillary (misalnya bronkodilator, suplemen nutrisi, steroid). Selain itu deteksi yang cepat dan tepat adanya komorbid seperti insufisiensi ginjal, HIV, diabetes & depresi sangat membantu dalam perencanaan program pengobatan pasien MDR TB

Mengingat obat-obat MDR TB yang toleransinya rendah atau banyak efek samping maka pemantauan selama pengobatan terutama menyangkut efek samping harus dilakukan sesering mungkin. Penatalaksanaan yang baik dan tepat merupakan hal penting yang menentukan kepatuhan pengobatan.

TERAPI PEMBEDAHAN

Pada kasus TB dengan adanya persisten kuman pada jaringan nekrotik luas pada paru, sedikitnya vaskularisasi & keterbatasan penetrasi obat akan menimbulkan terjadinya kegagalan terapi atau kekambuhan kasus TB. Kerusakan jaringan paru & kavitas paru yang luas kemungkinan juga sebagai tempat terjadinya kekambuhan kuman. Kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya resistensi obat TB.

Indikasi terapi pembedahan pada kasus resistensi obat TB adalah kerusakan jaringan paru yang luas dan dengan kavitas luas atau kavitas yang persisten. Pada kasus dengan kegagalan terjadinya konversi sputum setelah terapi OAT selama 4 bulan pada fase intensif dipertimbangkan untuk dilakukan terapi pembedahan.

Jenis operasi pembedahan sangat tergantung dengan luas kerusakan jaringan paru dan fungsi paru sebelum pembedahan, sehingga pemilihan operasi bedah berupa segmentectomy atau lobectomy.

Pengobatan OAT harus diberikan selama 3-4 bulan sebelum tindakan bedah dilakukan pada kasus resistensi obat TB. Tujuannya adalah untuk menurunkan infeksi bakteri di sekitar jaringan paru. Setelah tindakan bedah dilakukan terapi OAT tetap diberikan selama 18-24 bulan.

PENCEGAHAN TERJADINYA RESISTENSI OBAT

WHo merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain relatif tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB

Pencegahan yang terbaik adalah dengan :

  • Standarisasi pemberian regimen yang efektif
  • Penerapan strategi DOTS
  • Pemakaian OAT dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC), adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi OAT.
Pencegahan terjadinya resistensi OAT dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain :

  • Pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali
  • Penyembuhan secara komplit kasus kambuh
  • Penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB
  • Penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang krusial
  • Pengawasan terhadap pengobatan
  • Adanya OAT gratis
  • Komitmen penderita untuk meminum obat teratur
  • Komitmen klinisi untuk mengobati berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence base dan tes kepekaan kuman
  • Komitmen pemerintah dengan aturan dan sarana prasarana.
  • Pelaporan dan pencatatan yang baik
Sekalipun pengobatan dan pencegahan MDR TB tidak mudah. Namun jika dilakukan bersama-sama semua pasti bisa. Ayo Cegah dan Berantas MDR TB.

Jika ingin mengetahui informasi tentang TB lebih lanjut, silahkan akses informasinya di :
Web          : http://www.tbindonesia.or.id/
Facebook : Stop TB Indonesia
Twitter       : @StopTBIndonesia

Tulisan ini diikutkan dalam Blog CompetitionTemukan dan Sembuhkan Penderita TB, Serial 4 dengan tema Resistensi Obat TB (MDR TB). 

Sumber :

Buku Ajar Penyakit Paru hal aman 27-35
Buku Saku Harrison Pulmonologi 2013 halaman 137-138

Artikel terkait :

Serial 1
Serial 2
Serial 3
Serial 5
Serial 6
Serial 7
Serial 8

3 komentar:

  1. wah ini jiplak banget cuma ditranslate doank.. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sumbernya aku sertakan kok non. Bukan njiplak tapi menterjemahkan saja...
      Dikembangkan sedikit...

      Hapus
    2. Gambarnya sangat bagus dan inspiratif. Sangat sayang kalau tidak disebarluaskan. Aku tak mengklaim yang buat aku kok. Aku hanya menterjemahkan saja.. Hehehehe

      Hapus